Header Ads

Imunisasi Mental Untuk Kekebalan Jiwa Kader

"aduh, kena mental. Bikin kegiatan di Rayon kok sepi yang partisipasi ya?’’ ucap seorang pengurus di akhir periode yang ditinggal anggotanya karena eskapisme. Sekian keluhan yang senada sepertinya menjadi polarisasi umum tabiat kader yang diamanahi dalam struktural kepengurusan di setiap elemen rayon manapun. Opini ini berdasarkan sebuah pengalaman pribadi setelah menjadi pendengar yang baik dari satu ranah perkopian ke perkopian yang lain antar Komisariat antar Rayon. 

Maret lalu, perbincangan mengenai eskapisme masif terjadi sehingga menjadi perenungan yang panjang. Seorang kader dengan nama pena Afro mengajak sparing diskusi mengenai bagaimana menyikapi eskapisme kader yang meresahkan.

Dalam KBBI, eskapisme adalah kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayal atau situasi rekaan. Sedangkan dalam realitas kehidupan kader, beberapa oknum menggunakan burn out sebagai alasan untuk ‘’menghilangkan diri’’ dari tanggung jawab yang sedang diembannya. 

Pertanyaannya adalah, apakah eskapisme merugikan laju pergerakan kader?

Mari kita lihat dari dua kacamata yang berbeda. 

Dari sudut pandang pro, eskapisme diperlukan demi kesehatan mental. Sebab, kader dan anggota rayon biar bagaimanapun adalah manusia yang memiliki kondisi psikis berbeda-beda sehingga perlu adanya pemakluman selagi cara ‘’menghilangnya’’ dalam batas yang wajar dan cenderung dilampiaskan pada hal positif. Contohnya adalah ketika kader mencari ketentraman dengan mengasah tendensi spiritual seperti berziaroh ke walisongo, meditasi dengan berdzikir, fikir, amal soleh, menonton film-film pergerakan, dan segala hal positif lainnya. Dengan begini, setelah kader selesai dengan eskapismenya, ia akan kembali pada PMII dengan paradigma yang telah diupdate. Layaknya sebuah aplikasi, jiwa dan pola pikir yang telah diupdate akan lebih optimal dalam diaktualisasikan. Dengan demikian, kader seperti terlahir kembali dengan daya semangat sebesar kapasitas kobaran energi positif setelah pembaiatan. 

Dari sudut pandang kontra, eskapisme pantang dilakukan jika selama kader lari dari kenyataan situasi rekaan diciptakan melalui hal-hal yang negatif dan cenderung isyrof atau berlebihan. Kemudian, kader akan terlena dan tenggelam dalam situasi rekaannya sendiri tanpa niatan kembali pada PMII. Ia lupa kepada redaksi kalimat ‘’Sekali bendera dikibarkan hentikan ratapan dan tangisan, mundur satu langkah adalah sebuah penghianatan. Tangan terkepal dan maju ke muka, salam pergerakan!’’ 

Contoh konkrit dalam kasus pembodohan konsep self reward yang cenderung hedonisme, seperti merokok tiga bungkus dalam satu malam dengan alasan banyak pikiran dan butuh pelampiasan, belanja berlebihan di luar kebutuhan, jalan-jalan tanpa esensi dengan dalih me time padahal yang sebenarnya terjadi adalah ia sedang menghambur-hamburkan uang yang berakhir melahirkan sumber stress yang baru, yakni keterbatasan finansial. Pelampiasan yang tidak tepat itu, hanya akan membuat mental semakin melempem dan tidak akan pernah selesai. Mental yang yupi akan semakin yupi, niatan untuk ‘’menghilangkan diri’’ semakin terpupuk dan berpotensi melupakan jalan pulang dan kembali ke haribaan PMII.

Lantas, bagaimana mengkebalkan mentalitas kader dengan berbagai tantangan yang semakin berkemajuannya zaman dinilai semakin memberatkan?

Mari saya kenalkan dengan Premeditatio Malarum: Sebuah Imunisasi Mental. 

Dilansir dari buku ‘’Filosofi Teras’’ karya Henry Manampiring, dijelaskan bahwa praktik ini sangat mirip cara kerjanya dengan Imunisasi. Dalam imunisasi, kita memasukan kuman yang sudah dilemahkan sehingga sistem kekebalan kita bisa mempersiapkan diri melawan kuman yang sesungguhnya jika datang. Dengan mensimulasikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi, kita sedang mempersiapkan ‘’kekebalan mental’’ menghadapinya jika memang terjadi .

‘’Anggaplah apa yang kamu khawatirkan mungkin akan terjadi , pasti terjadi, kemudian pikirkan lagi sungguh-sungguh… kamu akan menemukan bahwa apa yang kamu takuti sebenarnya tidak signifikan atau tidak berdampak panjang,’’ ujar seneca (Letters from a stoic) 

Berikutnya, praktik ini justru menyiapkan kita untuk menghadapi skenario buruk. Dengan membayangkan kita bisa bersiap untuk mengatasinya. Seandainya kita mengantisipasi sebuah badoutcome yang tidak ada solusinya, kita masih memikirkan ‘’Apasih seburuk-buruknya akibatnya jika hal ini terjadi? Benarkah ini sebuah bencana, atau kalau dipikir-pikir sebenarnya gak se-bencana itu? Apakah ada orang lain yang mengalaminya? Juga dan pada akhirnya tidak seburuk yang dibayangkan?’’ atau ‘’Whats the worst that could happen?’’

Misalnya seorang kader yang ingin membuat perubahan, entah itu mengubah budaya, inovasi agenda, laju arah gerak pada hal yang lebih positif dan lain-lain melalui caranya apapun itu. Kader yang menerapkan Premeditatio Malarum seyogyanya memikirkan ekspetasi buruk dengan segala resikonya terlebih dahulu. Katakanlah ingin membuka ruang dialektika dengan topik dan kemasan yang ‘’berbeda’’ dan ‘’lebih fressh’’ menggunakan pendekatan yang baru. Mencoba membuat habbit baru setelah pertimbangan revitalisasi habbit lama. Kader memikirkan bahwasanya nanti tidak ada satupun suport dari kader yang lain, memikirkan tidak mungkin ada yang berminat, atau hanya ada satu dua saja yang bersedia turut andil, dan segala kemungkinan buruk lain atau orang jawa biasa menyebutnya dengan pait-paite, maka ketika skenario terburruk benar-benar terjadi tidak ada yang namanya dipecundangi realita, karena kita telah mempersiapkan mental untuk menghadapi hal tersebut, bahkan telah mempersiapkan rencana yang matang atas screnario terburuk tersebut, mental kita tidak akan terguling terkejut karena telah diberi pondasi ‘’imun melawan kecewa’’ diawal rencana dicipta. Misal katakanlah dengan menghibur diri bahwasanya tidak apa-apa jika ternyata tidak akan ada yang suport dan tidak ada yang berminat, karena goals yang dikejar bukan kuantitas tapi kualitas, lalu dibumbui optimisme bahwa berapapun yang berminat ruang dialektika itu tetap akan berjalan, tidak peduli dengan jumlah, yang penting konsisten sehingga lama-laa kader akan familier dan mulai tertarik. 

Nahh! Bagian paling membahagiakannya adalah ketika ternyata realita menghadirkan sesuatu yang lebih indah daripada apa yang kita khawatirkan sebelumnya, perasaan kita akan selangkah lebih senang dan energi positif benar-benar menjadi sebuah hasil yang menjanjikan. Premeditatio Malarum adalah sedia payung sebelum hujan paling mutakhir dalam kacamata stoisisme.


Wallahu a’lam bishowab


Tim Redaksi: Lubna Laila

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.